Berita perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global kian menyulut kecemasan masyarakat di segala dunia, termasuk para ilmuwan yang acap kali mengampanyekan berita hal yang demikian di beragam kawasan dunia. Survei yang dilaksanakan YouGov-Cambridge Globalism Project 2019 di 23 negara menceritakan bahwa 18 persen responden asal Indonesia mengakui perubahan iklim terjadi, tapi tak disebabkan oleh ulah manusia.

Hadirnya konsensus ilmiah berhubungan perubahan iklim yang menggarisbawahi kesibukan manusia sebagai penyebab utama beragam permasalahan iklim yang tengah dihadapi secara global. Laporan Panel Antarpemerintah seputar Perubahan Iklim (IPCC) yang diluncurkan pada Februari 2022 lalu menampakkan bahwa akibat perubahan iklim telah terjadi dan semestinya lantas menjalankan penyesuaian diri.

Mengamati minimnya pemahaman masyarakat kepada perubahan iklim sebagai sebuah permasalahan bersama, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang berprofesi sama dengan Google Initiative (GNI) menggelar webinar bertajuk “Krisis Iklim, Misinformasi dan Peran Media” melewati Zoom pada Selasa (5/4).

IPCC memprediksi kenaikan temperatur bumi akan via ambang batas 1,5 derajat Celsius pada 2030, malah ketika ini, peningkatan temperatur global telah menempuh 1,1 derajat Celsius. Peningkatan temperatur bumi sudah berakibat perubahan iklim yang dijelaskan dengan slot kakek tua penghangatan samudra, mencairnya es kutub, peninggian muka laut, dan kejadian ekstrem lainnya yang memengaruhi biota laut, sumber protein masyarakat.

Menginformasikannya catatan Badan Nasional Penanggulangan Petaka (BNPB) tahun 2021, di Indonesia terdapat 5.402 petaka dan beberapa besar petaka yang terjadi yaitu petaka hidrometeorologi. Banyaknya korban jiwa dan kerusakan pengaruh petaka berakibat pada perekonomian negara sebab melibatkan pengeluaran tarif.

Mengobservasi Peran Media di tengah Misinformasi

Media yang berperan dalam memberikan kabar untuk masyarakat di Indonesia justru belum cukup berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat berhubungan krisis iklim yang sedang berlangsung.

Media merupakan variabel. Sebagai variabel, salah satu unsur penting media merupakan menyusun persepsi publik, bagus secara positif ataupun negatif. Apabila media berprofesi secara positif dalam mengerjakan perannya, karenanya hal itu akan berakibat pada peningkatan literasi masyarakat, peningkatan kesadaran, dan menunjang urgensi. Di sisi lain, media bisa menjadi variabel negatif yang berbahaya kesadaran publik, mengaburkan fakta-fakta ilmiah, serta menyepelekan permasalahan.

“Mereka rata-rata menyadari equally salah alam, fenomena alami, sedangkan ini antroposen. Dikala bumi beberapa besar diatur oleh peran manusia. Lumayan banyak yang masih gak percaya ada perubahan iklim,” ujar Aulia Nastiti, selaku Peneliti dan Editor Remotivi.

Aulia menegaskan bahwa alasan masyarakat Indonesia membantah krisis iklim sebagai tindakan manusia sebab adanya gap pada komunikasi publik atau kabar yang diterima. Persepsi publik lebih terwujud dari liputan media, bukan konsensus ilmuwan. Di sisi lain, kabar yang diterima sehari-hari melalui media tak merepresentasikan inovasi ilmiah.

“Media lebih banyak memberi ruang pada rilis-rilis statement, rencana, kampanye dari perusahaan-perusahaan besar yang lebih banyak mengaplikasikan kekuatan fosil. Nah, ini sedangkan konteks global, terjadi juga di Indonesia,” lanjut Aulia.

Dikala meliput seputar petaka, media di Indonesia tak jarang kali lebih menunjukkan sensasi diperbandingkan sains sehingga memicu misinformasi. Perubahan iklim dibeberkan sebagai berita elit dan berita yang imajiner, lalu menjauhkan krisis iklim sebagai berita yang relevan dan berakibat pada kehidupan sehari-hari.

“Mereka semestinya clickbait sebanyak-banyaknya klik, makanya bingkai yang diterapkan merupakan bingkai emosi, padahal krisis iklim merupakan krisis yang nggak dapat diperlakukan seperti itu,” ungkap Aulia.

Problematika yang dihadapi jurnalis dalam meliput berita krisis iklim dipicu kesusahan menerjemahkan narasi krisis iklim terhadap publik di ketika mereka belum sepenuhnya memahami berita hal yang demikian. Ditambah unsur tuntutan produksi isu di ruang redaksi serta unsur politik di ruang redaksi yang mengendalikan kewenangan jurnalis untuk mengambil topik.

“Kita nggak dapat juga menyalahkan jurnalis sepenuhnya sebab jurnalis komponen entitas kecil dalam struktur produksi media, ada juga politik di ruang redaksi jadi tak jarang kali jurnalisnya udah punya good intention pengen lebih invested dalam liput berita lingkungan, tetapi nggak punya kewenangan dalam menetapkan apa topik di ruangan redaksi,” terang Aulia.

Narasi krisis iklim yang dilansir ilmuwan dikala diterjemahkan media dalam sebuah liputan cenderung menerapkan bahasa yang simpel supaya bisa dipahami masyarakat secara awam. Tetapi, acap kali istilah-istilah yang dipakai belum sanggup membeberkan nilai-nilai utama yang hendak diperkenalkan para ilmuwan, sehingga menyulut misinformasi.

“Media bukan memelintir, yang tak jarang menyebutkan terlalu oversimplified. Mungkin maksudnya slot garansi 100 untuk membikin bahasanya lebih gampang dimengerti, tapi tak jarang misleading,” tutur Daniel Murdiyaso, selaku Profesor di Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

Bagaimana Media Berkontribusi dalam Mitigasi?

Tatkala membahas solusi berita krisis iklim, diskusi mengenai progres mitigasi dan penyesuaian diri acap kali disinggung. Tetapi, kedua solusi hal yang demikian maknanya masih tak jarang disalah artikan oleh media.

“Mitigasi itu beda dengan mitigasi petaka. Mitigasi merupakan tanggapan kita untuk menembak targetnya dari segi sumber emisi, jadi emisinya diwariskan. Itu mitigasi,” jelas Daniel.

Mitigasi mengacu pada upaya menuntaskan penyebab perubahan iklim, padahal penyesuaian diri merupakan usaha menuntaskan akibat perubahan iklim yang telah terjadi supaya tak kian parah. Keduanya semestinya sama-sama berjalan guna mendapatkan hasil optimal.

Telah lebih dari 260 perusahaan global berkontribusi dalam progres mitigasi dan penyesuaian diri, merupakan dengan bersepakat untuk menerapkan 100 persen kekuatan terbarukan. Secara di Indonesia, hal ini bisa diperhatikan melewati hadirnya PLTB Sidrap dan ketentuan di Pulau Sumba yang 100 persen memanfaatkan pasokan kekuatan terbarukan.

“Berbincang-bincang ada krisis ada kesempatan. Jikalau ekonomi kita rendah karbon, dapat mempekerjakan 10 juta orang yang bergerak dalam bidang clean energy,” terang Amanda Katili dari The Climate Reality Project Indonesia.

Solusi simpel yang bisa ditawarkan untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi dan penyesuaian diri terkait dengan cara pangan, ialah memperbanyak nabati, mengurangi daging maupun impor makanan, serta menghindari sisa makanan. Kecuali itu, usaha menanam sayur dan buah-buahan sendiri juga sanggup mendorong petani.

“Kita nggak cuma tau solusi, tapi juga semestinya ada action sehingga kita dapat punya gaya hidup yang rendah karbon,” pungkasnya.

Krisis iklim bukankah suatu berita yang semestinya slot bet kecil diperdebatkan, namun sebuah konsensus yang sepantasnya dikenal masyarakat secara global. Kontribusi ilmuwan, media, dan masyarakat dalam progres mitigasi dan penyesuaian diri kian ditekan guna menjaga keberlangsungan ekosistem bumi.